Ingin berlangganan berita dalam blog ini?
Ketik alamat email anda pada kotak di bawah ini


Kelebihan yang Kekurangan

Label: ,

“Juara I Olimpiade Matematika tingkat Provinsi, atas nama Reno dari kelas XI IPA 1.” Begitulah suansa terakhir upacara bendera di SMAN 180 Denpasar saat pengumuman tambahan. Riuh tepuk tangan tak pernah berhenti mengiringi langkah seorang remaja dengan piala kemenangan digenggamannya, yang besarnya hampir setengah badan dirinya. Para guru tak luput memberikan ucapan selamat kepada dirinya. Banyak suara mengelu-elukannya. Tapi, remaja ini hanya tersenyum saja karena dia sudah terbiasa dengan semua ini.

“Sebelum melanjutkan cerita, ada baiknya jika aku mengenalkan diri. Agar tidak seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Namaku reno, salah seorang siswa di SMAN 180 Denpasar. Saat ini aku ada di kelas XI IPA 1, kelas unggulan di SMAN 180. Hampir tiap bulan aku maju ke depan lapangan upacara dengan keadaan seperti ini. Coba bayangkan, olimpiade matematika tingkat apapun sudah pernah aku menangkan. Bahkan medali emas Olimpiade Matematika tingkat Internasionalpun sudah menghiasi lemari kaca di rumahku. Mendapatkan juara dari setiap lomba yang aku ikuti bukanlah hal yang asing lagi buatku. Bukan hanya di akademis, tetapi non-kademis juga. Aku adalah anggota team sepakbola Bali U-18. Gelar pencetak gol terbanyak dan pemain terbaik di berbagai ajang juga pernah aku dapatkan. Tapi di belam benakku, selalu ada yang kurang. Entah apa itu, terkadang aku bingung sendiri memikirkan hal itu.”

Akhir semester ganjil di SMAN 180 sudah dekat, hanya tinggal 5 hari. Ulangan umum suda terlewati. Hanya tinggal menunggu penerimaan rapot saja. Saat berkumpul dengan teman – teman, aku merasakan bagaimana kgelisahan mereka yang was-was jikalau nilai mereka ada yang turun. Aku bisa mengerti bagaimana perasaan mereka, karena setahuku mereka semua sangat berharap bisa masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) melalui jalur PMDK. “Ren, enak ya jadi kamu? Udah pasti juara Umum 1 dan ga seperti kita – kita ini yang mencari PTN, tetapi PTN yang mencari kamu”, kata Angga teman sebangkuku. “Kamu ngomong apa sih? Biasa aja kok”, sahutku. “Ya jelas biasa dong bagi seorang Reno. Siapa sih yang ga kenal Reno di sekolah ini?”, jawab Angga.

Hari sabtu pun tiba. Pembagian rapot segera dilakukan, tapi sebelumnya di adakan apel menjelang liburan, dan di situ namaku kembali di panggil. Kali ini namaku di panggil sebagai juara umum 1 kelas XI IPA. “Tu kan bener, Reno gitu. Ga banget kalo ga dapet juara umum 1”, kata Angga sembari meledekku. “Kamu tu…”, kataku sambil memukul topinya.

Setelah dilakukan apel, semua murid memasuki kelas untuk pembagian rapot. Berbagai raut wajah ada di kala itu. Senang, sedih, bahkan sampai menangis atau marah tanpa sebab. Angga, temanku kali ini sangat senang. Baru kali ini nilai rapotnya tuntas semua. “Wuih, ada peningkatan ni. Traktiran dong. Kan gara – gara aku, nilaimu bisa naik”, godaku kepada Angga. “Iya, iya. Makasi ya Reno. Berkat kamu mau ngajarin aku, nilaiku bisa naik semua. Apalagi matematika, kamu tahu kan nilai terbesarku selama ini berapa? Cm 50, tapi sekarang bisa 70. Bakal aku bingkai rapot ini”, jawab Angga dengan raut yang berseri – seri. “Ya sama – sama, itu semua juga berkat usaha kamu yang uudah mau berusaha”, jawabku sambil tersenyum. “Oya Ren, kamu liburan kemana? Udah ada rencana? Klo belum, ikut keluargaku ke rumah nenek yang di Jogja. Nanti kita bisa jalan – jalan ke Borobudur, Prambanan, Parangtritis atau mau belanja di Malioboro”, ajak Angga kepadaku. Kebetulan liburan kali ini aku sedang tidak ada rencana, jadi aku terima saja ajakan dia. Lagipula keluarga Angga sangat baik terhadap teman – teman Angga. “Ehm, ya deh aku ikut. Kapan berangkatnya?”, tanyaku. “Hari Selasa, kamu siap – siap ya, nanti aku jemput ke rumah”, kata Angga dengan wajah yang masi berseri – seri. “Ga usah, aku aja yang nanti ke rumahmu. Yang perlu kan aku, jadi aku yang datang ke rumahmu” sahutku. “Ya udah klo gitu. Aku tunggu hari selasa jam 8 pagi yaw”. “Sip”.

Hari selasa akhirnya tiba. Aku dan Angga sekeluarga menuju Jogja menggunakan mobil pribadi. Sesampainya di rumah nenrknya Angga, aku sangat takjub dengan keadaan lingkungannya. Benar – benar bersih terawat. Meskipun ini di desa, tapi benar – benar membuat hati tenang. Perasaanku mengatakan bahwa aku akan betah tinggal di sini selama seminggu. Rumah nenek Angga bersebelahan dengan Masjid, jadi suara adzan selalu menggema setiap lima waktu.

Malam harinya, aku di ajak Angga ke masjid untuk melakukan sholat maghrib berjamaah. Setelah selesai sholat berjamaah, ada seorang perempuan yang menghampiri kami di serambi masjid. “Hai Angga, lama ga ketemu ya. Gimana kabarnya?”, tanya perempuan itu. “Oh, Rani. Baik – baik aja kok. Kamu bener Rani kan? Kok berubah banget dari yang aku kenal dulu?” celetuk Angga. Rani hanya membalas dengan senyuman manisnya. “Oya kenalin, ini Reno teman sekolahku. Liburan kali ini dia ikut aku ke sini. Dia murid paling terkenal di sekolahku. Presatasi apapun pernah di raih. Mungkin sama kayak Rani deh”, ucap Angga kepada Rani. Aku yang mendengarnya menjadi risih sendiri dan dengan sengaja aku menginjak kaki Angga. Rani yang melihat keadaan itu hanya bisa menampakan kembali senyum manisnya sambil berkata, “Udahlah Angga, itukan dulu”.

Entah apa yang ada di dalam kepala Angga, tiba – tiba saja di ingin pulang dan meninggalkan aku dengan Rani. “Teman, aku pulang dulu ya. Tadi aku dimintain tolong ama nenek buat mijetin. Kalian ngobrol – ngobrol dulu sana. Biar lebih akrab”, kata Angga. Aku sebenarnya merasa malu, ngobrol ama Rani. Tapi aku juga tidak enak hati meninggalkan dia tanpa alasan yang jelas.

Ternayata Rani orangnya sangat enak diajak ngobrol dan terbuka. Dia tidak canggung dengan orang yang baru dikenalnya. Kami mengobrol selayaknya orang yang sudah saling lama kenal. Tetapi, Rani terus yang memulai topik pembicaraan. Dengan memberanikan diri, aku menanyakan sesuatu ke dia. “Ehm Rani, maaf sebelumnya. Aku mau nanya, tadi kan Angga sempet bilang klo Rani mirip ma Reno. Klo boleh tahu, Rani juga murid berprestasi ya di sekolahnya?”

Rani semakin terlihat cantik dengan senyuman yang kembali muncul. “Gimana ya? I, I, Iya sih, tapi itu udah dulu. Sekarang aku hanya murid biasa. Tapi aku lebih bahagia dengan keadaan yang sekarang, daripada aku yang dulu”., jawabnya agak malu – malu. “Kok bisa?”, tanyaku segera. “Ehm, gini lo ceritanya…” beberapa saat Rani terdiam sambil menghela nafas, kenudia dia tersnyum dan mulai bercerita. “Aku dulu sekolah di SMP paling favorit di Bandung. Murid berprestasi sudah melekat kepadaku. Juara di berbagai lomba, juara umum sekolha, bahkan ketua OSIS juga pernah aku alami. Memang, kalo di pandang ma teman – teman, itu terlihat sangat hebat. Tapi, aku sendiri yang mengalami justru merasakan kebalikannya. Untuk menjadi juara kelas, aku harus terus-terusan belajar. Hampir tidak ada waktu untuk bermain dengan teman – temanku. Setiap hari les. Apalagi jika ada lomba, waktuku makin banyak tersita. Terlebih saat menjadi ketua OSIS. Aku benar – benar merasa tertekan. Awlanya aku memang merasa senang, bisa menjadi siswi teladan di sekolah favorit seperti itu, tapi lama kelamaan aku mulai merasakan bahwa aku tidak merasa bahagia. Saat aku merenung, apa yang salah pada diriku akau selalu bertanya, aku sudah mendapatkan semua yang murid – murid lain inginkan. Juara kelas, juara berbagai lomba, bahkan ketua OSIS. Sebenarnya apa yang belum aku dapatkan? Di saat itu aku tersadar, siapa yang memberika aku hidup yang tak pernah kekurangan ini, untuk apa aku hidup, apakah sebenarnya tujuanku hidup. Apakah aku bisa hidup bahagia dengan semua yang aku dapatkan selama ini tanpa pernah ingat siapa sebenarnya yang membuatku menjadi seperti ini? Apakah aku bisa hidup bahagia jika aku dinaggap siswi hebat oleh orang lain? Apakah hidupku hanya untuk mencari nilai dari sebuah pelajaran? Aku tersadar, selama ini aku kehilangan Tuhanku”, dia berhenti sejenak,lalu melanjutkan ceritanya kembali. “Tuhan telah menegurku dengan semua prestasi yang aku dapatkan, Dia mengujiku dengan semua kelebihan yang di berikan kepadaku. Tapi aku tak pernah mendengar tegurannya itu. Awalnya aku benar – benar menyesalinya. Tapi kemudian aku juga berpkir, untuk apa menyesal, semua udah terjadi. Klo aku terus menyesali, semua yang sudah terjadi juga tidak akan pernah berubah. Yang perlu kulakukan sekarang adalah memperbaiki diriku untuk ke depnnya. Untuk itu, saat aku lulus SMP, aku pergi ke desa ini untuk melanjutkan sekolah. Aku bisa menemukan lingkungan baru dan menjadi diriku yang baru. Aku sekarang lebih bahagia dengan keadaan yang seadanya seperti ini”, di mengakhiri ceritanya dengan berkaca – kaca tetapi dia tetap berusaha tersnyum. Aku yang dari tadi terpaku mendengar ceritnya, ikut merasakan apa yang pernah dia rasakan. Ternyata memang benar kata Angga, Rani mirip dengan aku, Reno.

Tak kusangka, waktu sudah menunjukan pukul 9 malam, akhirnya kami berdua pulang. “Wassalamualaikum, Reno. Senang bisa cerita banyak ma kamu”, kata Rani kepadaku. “Walaikumsalam. Makasi juga, Rani udah mau bercerita banyak ke Reno”, jawabku. Saat tiba di rumah Angga, aku terus teringat akan cerita Rani tadi. Bahkan, aku sampai tak bisa tidur. Aku terus merenung. Akhirnya aku sadar, selama ini yang kurang dari dirku adalah, TUHAN. Selama ini aku juga telah kehilangan Tuhanku. Selama ini mata hatiku tertutup oleh kehidupan duniaku. Sholat hanya kau lakukan jika sempat, membaca Al-Quran hanya aku lakukan 2 kali sebulan. Mungkin yang rutin hanya sholat Jumat. Sebelum semuanya berlanjut menjadi lebih buruk, aku harus merubah diriku sejarang juga,. Mulai detik ini, aku harus bisa jadi diriku yang baru. Aku memulainya dengan sholat tahajud malam sambil bertobat denagn sebenar-benarnya tobat kepada Tuhan.

Liburan telah usai, aku kembali ke Denpasar. Kemudian aku menceritakan apa yang aku dapatkan selama liburan. Yang terpenting adalah, aku mengutarakan rencanaku kepada kedua orang tua, bahwa aku ingin pindah sekolah ke tempat yang benar –benar baru untuku. Dimana aku tidak tahu lingkungan di sana, dan lingkungan di sanan tidak tahu bagaimana latar belakngku. Orang tuaku sangat bahagia mendengar semua penjelasanku. Dengan ikhlas mereka membiarkanku pindah sekolah. Sekolah yang aku pilih adalah sama dengan Rani. Aku masi ingin banyak belajar darinya untuk merubah hidupku.

Aku telah berpindah sekolah, dari yang mewah ke sekolah yang sederhana. Aku telah melepas diriku yang penuh prestasi menjadi murid biasa. Aku berharap semoga aku bisa menemukan arti kehidupan sejati untuk diriku sendiri. Tuhan, tolong bimbinglah aku untuk kembali ke jalan yang benar, menuju jalan-Mu.


Hidup ini indah Bila aku selalu Ada di sisi-Mu disetiap waktuku Hingga aku hembuskan nafas yang terakhir Dan akhirnya Kita bertemu Dalam awal dan akhir Maafkanlah selalu semua salahku Karena Kau memang pemaaf Dan aku hanya, manusia

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Terakhir